Hiburan

Bagong, Pemuda Kritis yang Dibenci Belanda

40
×

Bagong, Pemuda Kritis yang Dibenci Belanda

Share this article

Sejarah dan Peran Bagong dalam Kesenian Jawa

Bagong adalah salah satu tokoh penting dalam kesenian wayang Jawa, khususnya dalam tradisi punakawan. Ia merupakan anak angkat ketiga Semar setelah Gareng dan Petruk. Nama Bagong berasal dari kata “Baghaa” yang berarti “berontak”, mencerminkan sifatnya yang keras kepala dan tidak mudah menyerah. Dalam beberapa versi cerita, Bagong memiliki nama lain seperti Bawor, Carub, atau Astrajingga, tergantung pada wilayah dan aliran wayang yang digunakan.

Bagong dikenal dengan ciri fisik yang bertubuh gemuk, mata bulat lebar, mulut lebar, serta watak yang kekanak-kanakan, lucu, namun juga suka menang sendiri. Meskipun tampak mengganggu, ia memiliki kecerdasan argumentatif dan logis yang sering digunakan untuk menyampaikan kritik sosial melalui lakon-lakon wayang.

Fungsi Bagong sebagai Tokoh Kritis

Dalam tradisi kesenian Jawa, para punakawan tidak hanya berperan sebagai pelayan atau teman seperjalanan bagi para Pandawa, tetapi juga sebagai simbol filosofis dari “kejenakaan yang mengena”. Mereka sering kali menjadi perantara pesan-pesan moral, pengajaran, dan kritik sosial kepada penonton.

Bagong, dalam hal ini, memiliki peran khusus. Ia dikenal sebagai tokoh yang paling bengal dan nonkooperatif di antara punakawan lainnya. Ia tidak segan melibas siapa saja yang salah, baik itu orang biasa maupun dewa. Dalam beberapa lakon, Bagong sering kali menjadi representasi kritis terhadap pemerintahan dan sistem sosial yang ada.

Contohnya, dalam lakon “Bagong Mbrantas Korupsi” atau “Suara Bagong Suara Rakyat Kecil”, dia digambarkan sebagai pembela keadilan yang tidak takut menghadapi otoritas. Hal ini membuatnya menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan korupsi.

Penghapusan Bagong oleh Pihak Kolonial

Pada masa pemerintahan Amangkurat I, yang menggantikan Sultan Agung pada 1645 M, terjadi banyak kontroversi yang mencoreng citranya. Salah satunya adalah kasus di mana Amangkurat I memaksa Nyai Panjang Mas, istri Ki Panjang Mas, untuk menjadi selirnya. Kejadian ini memicu protes dari para dalang dan seniman wayang, termasuk penggunaan Bagong sebagai simbol kritik terhadap pemerintahan yang dianggap tidak adil.

Karena sifat kritis dan tidak kooperatifnya, Bagong dianggap mengganggu kekuasaan kolonial Belanda yang menjadi sekutu Amangkurat I. Akibatnya, para dalang yang kerap menggunakan Bagong dalam lakon mereka diperintahkan untuk “menghilangkan” tokoh ini dari seluruh pertunjukan wayang di Mataram.

Perubahan Paradigma dan Pecahnya Gagrak

Setelah Kesultanan Mataram pecah, terjadi pergeseran dalam paradigma kesenian Jawa. Pindahnya pusat kekuasaan dari Kartasura ke Surakarta pada 1745, serta Perjanjian Giyanti (1755) yang memisahkan Surakarta dan Yogyakarta, memberikan dampak besar terhadap nasib Bagong.

Gagrak Surakarta memilih untuk mempertahankan aliran Ki Panjang Mas, yang berarti hanya mengakui tiga punakawan: Semar, Gareng, dan Petruk, tanpa Bagong. Sementara itu, Gagrak Yogyakarta tetap mempertahankan aliran Nyai Panjang Mas, yang mengakui eksistensi Bagong.

Meski demikian, aliran ini bukanlah paten. Di era revolusi, para dalang di Gagrak Surakarta dan Yogyakarta lebih fleksibel dan menerima adaptasi zaman, sehingga Bagong bisa kembali muncul dalam bentuk-bentuk baru.

Bagong dalam Konteks Modern

Di tengah perkembangan zaman, Bagong masih relevan sebagai simbol kritik sosial. Para dalang modern seperti Ki Seno Nugroho terus menggunakan karakter ini untuk menyampaikan pesan-pesan penting tentang keadilan, kebebasan, dan hak asasi manusia.

Lakon-lakon seperti “Wahyu Katentraman” atau “Bagong Mbangun Padepokan” menunjukkan bagaimana Bagong masih bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda dalam menyuarakan perubahan.

Penutup

Bagong adalah tokoh yang tidak hanya unik dalam sifat dan perawakan, tetapi juga memiliki makna mendalam dalam sejarah dan budaya Jawa. Meskipun sempat dihapus dari pertunjukan wayang karena dianggap mengganggu kekuasaan kolonial, dia tetap hidup dalam bentuk-bentuk baru yang relevan dengan zaman. Melalui kritik dan humor, Bagong terus menjadi representasi dari semangat perlawanan dan keadilan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *