Berita

Dari Pedagang ke Petani: Perjuangan di Tengah Lesunya Daya Beli

19
×

Dari Pedagang ke Petani: Perjuangan di Tengah Lesunya Daya Beli

Share this article

Kondisi Pasar yang Lesu dan Perubahan Profesi Pedagang

Di tengah keramaian pasar yang dulu penuh dengan kehidupan, kini banyak lapak pakaian terlihat sepi. Kain-kain yang dahulu digantung dengan berbagai warna kini tersimpan rapi dalam kardus, menunggu nasib yang tidak pasti. Lorong-lorong pasar yang dulu ramai dengan suara tawar-menawar kini terdengar sunyi dan sepi.

Para pedagang yang dulunya penuh semangat menyambut pelanggan kini satu per satu menutup usahanya. Bukan karena keinginan mereka sendiri, tetapi karena tekanan ekonomi yang memaksa. Lesunya daya beli masyarakat menjadi pukulan telak bagi para pedagang kecil dan menengah. Sejak beberapa tahun terakhir, terutama pasca pandemi, penghasilan banyak keluarga tidak stabil lagi. Uang yang biasanya digunakan untuk membeli pakaian baru kini lebih difokuskan pada kebutuhan pokok seperti beras, minyak, dan pendidikan anak.

Akibatnya, sektor perdagangan sandang khususnya pedagang kecil dan menengah menjadi salah satu yang paling terdampak. Permintaan pasar menurun tajam karena daya beli masyarakat belum kembali ke kondisi normal. Prioritas pengeluaran rumah tangga pun bergeser dari kebutuhan sekunder seperti pakaian, ke kebutuhan pokok seperti makanan, kesehatan, dan pendidikan.

Tantangan yang Menghadang

Situasi ini menciptakan tekanan berlapis. Di satu sisi, modal usaha terus tergerus karena barang dagangan tidak laku. Di sisi lain, biaya operasional seperti sewa lapak, transportasi, hingga utang ke distributor tetap harus dibayar. Banyak pedagang yang akhirnya tidak sanggup mempertahankan usahanya, bukan karena tidak mau bekerja keras, tetapi karena ekosistem ekonomi tidak lagi mendukung keberlangsungan usaha kecil.

Kondisi pasar yang lesu juga membuat siklus usaha berhenti. Ketika pedagang tak bisa menjual, maka mereka pun berhenti membeli stok dari produsen kecil, dan akhirnya seluruh rantai pasok ikut terguncang.

Bertani, Jalan Alternatif yang Realistis

Ketika perdagangan tak lagi menjanjikan, banyak mantan pedagang pakaian memilih untuk kembali ke tanah. Bertani bukan sekadar alternatif sementara, tetapi menjadi pilihan realistis untuk bertahan di tengah krisis. Bagi sebagian orang, bertani bukan hal baru, melainkan warisan keluarga, keterampilan turun-temurun yang sempat ditinggalkan demi merantau dan berdagang.

Kini, keterampilan itu kembali dihidupkan sebagai jalan menyambung nafkah. Menjadi petani memang tidak mudah, terlebih bagi mereka yang sudah lama meninggalkan dunia pertanian. Perubahan musim yang tak menentu, biaya pupuk yang terus naik, hingga harga jual hasil panen yang fluktuatif menjadi tantangan tersendiri. Namun di tengah keterbatasan, bertani menawarkan satu hal penting yang sulit ditemukan di sektor lain, yaitu kemandirian.

Tanah memberikan harapan yang konkret. Sekalipun hasilnya kecil, setidaknya bisa dinikmati langsung. Sayur-mayur, umbi-umbian, hingga tanaman sela menjadi sumber pangan sekaligus sumber penghasilan baru.

Ekonomi yang Tak Ramah bagi Si Kecil

Lesunya sektor perdagangan kecil memperlihatkan betapa rapuhnya struktur ekonomi kita. Ketika krisis datang, para pelaku usaha mikro dan kecil adalah pihak pertama yang terhantam, dan sering kali yang paling lambat untuk pulih. Tidak adanya perlindungan yang memadai, keterbatasan akses terhadap modal, dan minimnya jaminan sosial membuat mereka berada di garis depan dampak ketidakstabilan ekonomi.

Struktur ekonomi nasional yang terlalu bertumpu pada konsumsi, dan lebih menguntungkan pelaku besar, membuat usaha kecil kerap hanya menjadi pelengkap. Padahal, jumlah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mendominasi lebih dari 90 persen kegiatan ekonomi rakyat. Namun kontribusi besar ini tidak diiringi dengan kebijakan yang berpihak.

Ketahanan yang Tak Terlihat

Kisah para pedagang yang kini menjadi petani adalah potret nyata ketahanan masyarakat kecil. Di tengah tekanan ekonomi, minimnya dukungan, dan ketidakpastian masa depan, mereka mampu beradaptasi dan menciptakan jalan baru untuk bertahan. Mereka tidak menunggu keajaiban atau berharap pada janji-janji yang belum tentu datang. Sebaliknya, mereka mengambil inisiatif dengan segala keterbatasan yang ada.

Ketahanan seperti ini sering kali luput dari perhatian. Bahkan tidak tampil di berita utama atau laporan keuangan nasional, tetapi hidup nyata dalam keseharian jutaan keluarga di pelosok negeri. Mereka bekerja tanpa sorotan, menanam dengan harapan, dan tetap bergerak meski tertatih. Mereka mungkin tak punya akses ke pasar digital, modal ventura, atau pelatihan bisnis, tapi mereka punya satu hal yang jauh lebih penting, yaitu daya juang.

Peralihan profesi dari pedagang ke petani bukan hanya tentang berganti pekerjaan, tetapi tentang menyesuaikan cara hidup dengan kondisi yang berubah drastis. Pada akhirnya, krisis memang memaksa banyak orang keluar dari zona nyaman. Namun di balik keterpaksaan itu, lahir ketangguhan baru. Para pedagang pakaian yang dulunya mengandalkan keramaian pasar kini beralih ke kebun, ke ladang, atau ke pekerjaan-pekerjaan lain yang mungkin jauh dari keahlian awal mereka. Meski berat, langkah itu adalah bukti bahwa mereka tidak menyerah pada keadaan, tetapi memilih untuk terus bertahan, bahkan bangkit dalam bentuk yang baru.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *