Berita

Siapa Annisa Fitri Yusuf, Inisiator Pameran Internasional Art Borneo 2025?

1
×

Siapa Annisa Fitri Yusuf, Inisiator Pameran Internasional Art Borneo 2025?

Share this article

Annisa Fitri Yusuf: Suara Perempuan yang Menggema Melalui Seni di Pontianak

Nama Annisa Fitri Yusuf mencuri perhatian publik Kota Pontianak setelah sukses menyelenggarakan Pameran Internasional Art Borneo pada 20 hingga 28 Juni 2025 di Gedung Dekranasda Kalimantan Barat. Sebagai inisiator acara bergengsi ini, Annisa membuktikan bahwa seni bisa menjadi alat pemberdayaan sekaligus media untuk menyuarakan isu-isu kritis, terutama dari perspektif perempuan.

Sejak kecil, Annisa telah menunjukkan kedekatannya dengan dunia seni. Ia kerap menulis puisi tentang hujan, menggambar di pinggir buku pelajaran, dan membuat catatan harian yang menjadi awal mula perjalanannya dalam berkarya. Namun, ia tidak sekadar melihat seni sebagai ekspresi diri. Baginya, seni juga berfungsi sebagai pencatat sejarah, alat perlawanan, bahkan sarana penyembuhan.

“Saya mulai menyadari bahwa seni bisa menjadi cara untuk menyampaikan perasaan yang sulit diungkapkan secara langsung, terutama sebagai perempuan yang hidup dalam struktur sosial yang cukup kaku,” ujarnya saat ditemui beberapa waktu lalu.

Perjalanan Akademik yang Membentuk Perspektif Kritis

Annisa menempuh pendidikan S2 di bidang Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Sebelas Maret. Pengalaman akademiknya memberikan wawasan baru tentang bagaimana bahasa dan narasi dapat membangun representasi serta identitas. Ia menyadari bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga struktur kuasa.

Pemahaman ini kemudian dia aplikasikan dalam karya-karyanya. Dengan pendekatan edukatif dan artistik, Annisa berhasil mengangkat isu gender, budaya lokal, dan identitas dalam karya seni yang ia ciptakan. Ia pun semakin peka dalam membaca teks dan konteks, yang menjadi dasar teoritis dalam proyek-proyek seni yang ia garap.

Tantangan dalam Dunia Seni Berbasis Gender

Menurut Annisa, tantangan terbesar yang dihadapi oleh seniman perempuan adalah budaya patriarki yang masih kuat, baik secara sistemik maupun dalam praktik sehari-hari. “Kadang suara perempuan dianggap tidak penting, atau posisi kepemimpinan perempuan di dunia seni masih diragukan,” katanya.

Selain itu, dukungan infrastruktur dan apresiasi terhadap seni berbasis perempuan atau yang mengangkat isu kritis masih minim. Namun, dari tantangan tersebut, Annisa belajar untuk membangun jaringan, menciptakan ruang, dan memperjuangkan representasi perempuan dalam seni.

Seni sebagai Alat Penyadaran dan Solidaritas

Bagi Annisa, seni memiliki peran strategis dalam memperjuangkan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan. “Seni bisa masuk ke wilayah emosi dan empati, membuka ruang dialog yang tidak konfrontatif namun tetap tajam,” ucapnya.

Ia percaya bahwa seni bisa menjadi jembatan untuk menyuarakan pengalaman perempuan yang sering kali disenyapkan, diremehkan, atau distigma. Selain itu, seni juga berfungsi sebagai alat untuk menciptakan narasi tandingan, membangun solidaritas, dan menyembuhkan luka-luka yang diwariskan oleh ketimpangan struktural.

Salah satu karya yang sangat personal bagi Annisa adalah Pesurong: Perempuan Membawa Piring Keenam. Ini merupakan karya instalasi dan pertunjukan yang mengangkat tubuh perempuan Melayu Sambas dalam konteks adat dan struktur patriarki. Karya ini mengeksplorasi bagaimana perempuan dibebani simbol-simbol kesopanan tanpa diakui sebagai subjek utama.

Annisa juga aktif menulis puisi, menginisiasi program riset dan arsip perempuan adat dalam kolektif seni emehdeyeh, sebuah ruang seni berbasis komunitas di Kalimantan Barat.

Art Borneo: Platform Lintas Negara untuk Kolaborasi Seni

Selain aktif di kolektif lokal, Annisa mendirikan Art Borneo, sebuah platform lintas negara yang mencakup Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Fokusnya adalah membangun jejaring seni lintas batas, memfasilitasi pameran, serta menyuarakan isu lokal seperti identitas, lingkungan, dan budaya.

Dalam kapasitasnya sebagai Direktur Program di Art Borneo, Annisa mengelola kuratorial, komunikasi lintas negara, dan produksi acara. Di emehdeyeh, ia bertindak sebagai Art Manager sekaligus seniman dan penulis.

Salah satu kolaborasi yang meninggalkan kesan mendalam adalah proyek AYA & Batang Garing, sebuah pertunjukan yang menggabungkan film animasi, musik tradisional, dan sastra lisan talimaa. Proyek ini dipresentasikan dalam program Indonesia Bertutur 2024 di Ubud, Bali.

Pentingnya Infrastruktur dan Dukungan untuk Ekosistem Seni Lokal

Melihat perkembangan seni di Kalimantan, Annisa menekankan pentingnya infrastruktur dan kebijakan yang mendukung keberlangsungan seniman lokal. Akses terhadap dana, ruang berkarya, dan distribusi karya menjadi prioritas utama.

“Selain itu, sistem dokumentasi, arsip, dan pendidikan seni yang kontekstual harus dikembangkan agar seni bisa tumbuh dari nilai-nilai lokal namun tetap terbuka terhadap dunia internasional,” tambahnya.

Annisa juga mendorong penguatan kepemimpinan berbasis komunitas dan perempuan, serta menciptakan ruang dialog lintas generasi dan lintas budaya di Borneo.

Impian untuk Lebih Banyak Kepemimpinan Perempuan di Dunia Seni

Annisa bermimpi melihat lebih banyak perempuan memimpin ruang seni, bukan hanya sebagai seniman tetapi juga sebagai pengambil keputusan, pengarsip, kurator, dan fasilitator. Ia ingin seni di Kalimantan Barat tumbuh dari nilai-nilai lokal yang kritis, bukan sekadar meniru pusat-pusat seni global.

“Saya ingin ada ekosistem yang saling menopang antara institusi, komunitas, dan individu, dengan ruang-ruang yang benar-benar aman dan inklusif bagi perempuan berkarya,” tandasnya.

Annisa meyakini bahwa seni bisa menjadi sarana penyembuhan kolektif. Ia ingin turut ambil bagian dalam proses tersebut bersama perempuan-perempuan hebat lainnya di Kalimantan dan sekitarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *