Dinamika Internal Kementerian PKP: Perbedaan Pandangan Antara Menteri dan Wakil Menteri
Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) yang baru dibentuk di bawah pemerintahan Prabowo Subianto tengah menghadapi tantangan internal. Perselisihan antara Menteri Maruarar Sirait dan Wakil Menteri Fahri Hamzah mencerminkan perbedaan pendekatan dalam mewujudkan Program 3 Juta Rumah, sebuah janji kampanye penting untuk mengatasi backlog perumahan sebesar 12,7 juta unit pada tahun 2024.
Latar Belakang Pembentukan Kementerian PKP
Kementerian PKP resmi berdiri pada Oktober 2024 sebagai hasil pemisahan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Fokus utama kementerian ini adalah penyediaan hunian layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), generasi milenial, dan Gen-Z. Presiden Prabowo menunjuk Maruarar Sirait sebagai Menteri PKP dan Fahri Hamzah sebagai Wakil Menteri, keduanya dilantik pada 21 Oktober 2024.
Maruarar, mantan politikus PDI-P yang kini bergabung dengan Gerindra, memiliki pengalaman di Komisi XI DPR RI terkait keuangan dan perbankan serta jaringan luas di sektor properti. Di sisi lain, Fahri Hamzah, eks-Wakil Ketua DPR dari PKS yang kini menjadi anggota Partai Gelora, juga aktif sebagai anggota Satgas Perumahan tim transisi Prabowo-Gibran.
Isu Pinjaman Luar Negeri
Salah satu isu kontroversial yang memicu friksi adalah soal pinjaman luar negeri untuk mendanai program perumahan. Pada 23 Juni 2025, Fahri menyatakan optimismenya terhadap potensi dukungan dari lembaga internasional seperti World Bank, Asian Development Bank (ADB), dan Islamic Development Bank (IsDB), yang siap memberikan pinjaman hingga US$1 miliar per tahun.
Namun, pada 24 Juni 2025, Maruarar secara tegas menghentikan usulan pinjaman luar negeri tersebut. Ia menyebut bahwa keputusan ini selaras dengan arahan Presiden Prabowo untuk “berdikari” atau mandiri, dengan mengandalkan sumber daya domestik seperti Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang telah mengucurkan Rp 130 triliun untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) perumahan.
Fahri merespons dengan rasa terkejut, menyatakan bahwa ia tidak mengetahui alasan penolakan tersebut karena tidak ada instruksi langsung dari Presiden. Hashim Djojohadikusumo, Ketua Satgas Perumahan, bahkan menegaskan bahwa skema pinjaman luar negeri tetap menjadi opsi penting, memperkuat posisi Fahri dan menciptakan ketidakselarasan dengan sikap Maruarar.
Ukuran Rumah Subsidi: 18 Meter Persegi vs 36-40 Meter Persegi
Perdebatan panas juga terjadi terkait ukuran minimal rumah subsidi. Maruarar mengusulkan rumah subsidi dengan luas minimal 18 meter persegi, yang dinilai lebih realistis untuk daerah perkotaan dengan keterbatasan lahan. Namun, Fahri menentang keras usulan ini, menyatakan bahwa ukuran tersebut tidak memenuhi standar UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Fahri menyarankan ukuran minimal 36-40 meter persegi, sesuai rekomendasi global dan standar PBB. Ia juga mengusulkan pengembangan hunian vertikal (rusun) di perkotaan dengan insentif yang menarik minat masyarakat. Menurutnya, rumah 18 meter persegi hanya boleh dibangun dalam proyek komersial tanpa subsidi pemerintah.
Lippo Group sempat memamerkan desain rumah subsidi 14 meter persegi, namun ditolak oleh Fahri karena tidak sesuai standar hukum. Meski demikian, Maruarar tetap membuka ruang diskusi dengan berbagai pihak untuk menyempurnakan aturan ini.
Skema Attachment Earnings: Inisiatif Tanpa Koordinasi?
Pada 2 Juli 2025, Fahri mengusulkan skema attachment earnings sebagai solusi pembiayaan perumahan yang tidak membebani APBN. Skema ini melibatkan pemotongan gaji pekerja secara langsung oleh perusahaan, yang kemudian disetorkan ke bank mitra sebagai cicilan rumah. Keuntungan utama dari skema ini adalah mengurangi risiko kredit macet dan mempermudah proses kepemilikan rumah bagi MBR.
Namun, pada 4 Juli 2025, Maruarar merespons dengan skeptisisme, menyatakan bahwa ia belum menerima komunikasi resmi terkait skema tersebut. Ia menegaskan bahwa prioritas Fahri saat ini seharusnya adalah mencari investasi luar negeri, bukan mengusulkan skema baru tanpa koordinasi.
Meskipun demikian, Maruarar menyatakan keterbukaan terhadap usulan yang bertujuan memperbaiki aturan, asalkan diajukan secara formal. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam komunikasi dan koordinasi antara Menteri dan Wakil Menteri PKP.
Tantangan Menuju Visi 3 Juta Rumah
Dengan anggaran Kementerian PKP hanya Rp 5,27 triliun pada 2025 — jauh dari kebutuhan pendanaan untuk membangun 3 juta unit rumah — tantangan finansial menjadi semakin nyata. Maruarar menjajaki kerja sama dengan investor asing seperti Ooredoo (Qatar) dan Standard Chartered (Singapura), namun belum membuahkan hasil konkret.
Fahri sendiri fokus pada upaya mencari investasi luar negeri untuk 1 juta unit rumah, sementara Maruarar menangani 2 juta unit sisanya. Namun, kurangnya koordinasi dan perbedaan visi membuat langkah-langkah strategis sering kali tidak sinkron.
Kesimpulan
Dinamika internal Kementerian PKP mencerminkan kompleksitas dalam merealisasikan Program 3 Juta Rumah. Meski memiliki tujuan mulia untuk mengatasi backlog perumahan dan menyediakan hunian layak bagi masyarakat, friksi antara Menteri dan Wakil Menteri menunjukkan perlunya sinergi yang lebih kuat dan koordinasi yang lebih baik. Hanya dengan pendekatan kolaboratif dan kesepahaman akan visi bersama, target ambisius ini dapat dicapai.