Israel terus meningkatkan intensitas serangan udara dan daratnya di Jalur Gaza menjelang kemungkinan kesepakatan gencatan senjata yang sedang dirundingkan. Serangan-serangan ini telah menewaskan puluhan warga Palestina, termasuk anak-anak, perempuan, dan lansia, dalam beberapa hari terakhir saja. Salah satu serangan paling mematikan terjadi di daerah al-Mawasi, bagian barat Khan Younis, di mana tenda-tenda pengungsi dihancurkan oleh bom Israel, menewaskan setidaknya enam orang dan melukai lebih dari sepuluh lainnya.
Di Kota Gaza, Sekolah Al-Shafi yang digunakan sebagai tempat penampungan bagi warga sipil menjadi target pemboman Israel, mengakibatkan lima korban tewas dan beberapa luka-luka. Serangan juga terjadi di pabrik desalinasi air dekat Kota Gaza, menewaskan dua warga dan melukai 15 lainnya. Di utara Rafah, pasukan Israel membantai sembilan warga, termasuk tiga anak-anak, di dekat pusat distribusi bantuan kemanusiaan Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF).
Situasi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk dengan akses bantuan yang sangat terbatas. Program Pangan Dunia PBB (WFP) mencatat bahwa sejak Mei 2025, hanya sebagian kecil dari jumlah bantuan yang dibutuhkan oleh lebih dari dua juta penduduk Gaza berhasil masuk. Sebanyak satu dari tiga warga tidak makan selama berhari-hari, sementara risiko kelaparan semakin nyata. Harga tepung untuk membuat roti kini 3.000 kali lebih mahal dibandingkan sebelum perang dimulai, dan minyak goreng sudah tidak tersedia di pasar lokal.
Menurut Wakil Direktur Eksekutif WFP, Carl Skau, kondisi di lapangan adalah yang terburuk yang pernah ia lihat. “Orang-orang mati hanya karena mencoba mendapatkan makanan,” katanya setelah kunjungan ke Gaza. Ia menekankan pentingnya gencatan senjata agar bantuan bisa masuk secara efektif. Dalam gencatan senjata sebelumnya, lebih dari 8.000 truk bantuan berhasil masuk hanya dalam waktu 42 hari.
Rancangan Gencatan Senjata: Isi Proposal dan Titik Kontroversi
Dalam upaya meredam konflik yang telah berlangsung lebih dari tujuh bulan, sebuah rancangan proposal gencatan senjata disusun. Presiden AS Donald Trump akan menjamin gencatan senjata sementara selama 60 hari. Hamas bersedia membebaskan 10 tawanan Israel yang masih hidup serta menyerahkan jenazah 18 tawanan pada hari pertama pelaksanaan kesepakatan. Bantuan kemanusiaan akan mulai masuk ke Gaza melalui saluran seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Bulan Sabit Merah.
Selama masa gencatan senjata, semua aktivitas militer ofensif Israel akan dihentikan di seluruh Jalur Gaza, dengan operasi militer dan pengawasan dibatasi hingga 10 jam sehari. Pasukan Israel akan ditarik dari wilayah utara Gaza, Koridor Netzarim, dan selatan Gaza.
Namun, titik kritis dalam negosiasi saat ini adalah soal kontrol distribusi bantuan. Hamas ingin agar bantuan didistribusikan melalui organisasi internasional dan Bulan Sabit Merah Palestina, dengan ratusan titik distribusi. Sementara itu, Israel khawatir hal ini akan mengurangi pengaruh mereka atas jalur bantuan. Selain itu, isu jumlah warga Palestina yang harus dibebaskan sebagai imbalan atas pembebasan tawanan Israel juga masih menjadi kontroversi.
Desakan Internasional untuk Gencatan Senjata
Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim turut menyuarakan dukungan terhadap gencatan senjata dan distribusi bantuan kemanusiaan. Keduanya menegaskan perlunya solusi dua negara untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Macron menyatakan bahwa Prancis bekerja sama dengan Arab Saudi dan pihak-pihak lain untuk mendorong Israel mengizinkan bantuan masuk ke Gaza. Sementara itu, Anwar mengutuk serangan Israel terhadap Iran, meskipun ia menyarankan agar tekanan diplomatik terus dilakukan untuk mendorong dialog damai.
Pengamat internasional seperti Pietro Stefanini, akademisi dari Universitas Edinburgh, menuding bahwa AS dan Israel telah menggunakan bantuan kemanusiaan sebagai alat genosida. Menurutnya, sistem distribusi yang ada seperti UNRWA dan World Food Programme ditolak oleh Israel karena dinilai tidak sesuai agenda strategis mereka. “Bantuan sengaja dibatasi untuk memperparah kelangkaan dan menimbulkan kelaparan,” kata Stefanini.
Situasi Darurat di Rumah Sakit Gaza
Marwan al-Hams, direktur salah satu rumah sakit lapangan di Gaza, menggambarkan situasi medis yang sangat kritis. Rumah sakit beroperasi dengan sumber daya minimal, tanpa bahan bakar yang cukup dan obat-obatan dasar. Bahkan susu bayi pun masih dicegah masuk oleh Israel. “Kami sangat kesulitan menangani jumlah korban yang terus bertambah,” ujarnya.
Data dari Kementerian Kesehatan Gaza menyebutkan bahwa sejak awal perang Oktober 2023 hingga Juli 2025, sedikitnya 57.338 warga Palestina tewas dan 135.957 terluka. Ribuan korban lainnya masih tertimbun di bawah reruntuhan bangunan yang hancur.
Pembantaian Terbaru Israel
Hari ini, Israel membantai 64 warga Palestina di berbagai wilayah Gaza. Sembilan di antaranya tewas di dekat pusat distribusi GHF di utara Rafah, termasuk tiga anak-anak. Zahwa Salmi, salah satu penyintas, menceritakan momen mengerikan ketika sekolah tempat ia dan keluarganya berlindung dihancurkan oleh serangan udara Israel. “Kami sedang tiduk, tiba-tiba ledakan dahsyat mengguncang aula. Orang-orang berteriak minta tolong, tetapi tidak ada suara balasan. Sebagian besar dari mereka meninggal. Seluruh keluarga hilang,” kenangnya.
Sementara itu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah meminta langsung kepada Presiden AS Donald Trump untuk menghentikan serangan terhadap pusat bantuan di Gaza. Lebih dari 600 orang telah tewas dalam serangan-serangan tersebut, menurut data PBB.
Konflik yang terus berlarut ini semakin menunjukkan betapa rentannya warga sipil di Gaza. Tanpa adanya gencatan senjata permanen dan distribusi bantuan yang bebas dari intervensi politik, maka tragedi kemanusiaan di Jalur Gaza akan terus berlanjut tanpa akhir yang pasti.