Perjuangan Ibu Korban Kekerasan Seksual: Tolak Uang Rp1 Miliar demi Keadilan Anaknya
Tidak ada rasa yang lebih menyakitkan bagi seorang ibu selain melihat anaknya menjadi korban kekerasan seksual. Inilah yang tengah dialami oleh seorang ibu berinisial IM, warga Jambi, yang harus menerima kenyataan pahit bahwa putra laki-lakinya yang masih berusia 13 tahun menjadi korban pencabulan oleh seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Provinsi Jambi bernama Yanto alias Rizky Aprianto.
Peristiwa ini terjadi pada November 2024 dan meninggalkan trauma mendalam bagi sang anak. Sikapnya berubah drastis pasca-kejadian, dari anak yang dulunya ceria menjadi tertutup, mudah marah, dan sulit dikendalikan. Bahkan, tekanan semakin bertambah karena ia menjadi korban perundungan di sekolah. Ejekan dan bullying membuat kondisi psikologisnya semakin memburuk hingga akhirnya ia memilih untuk tidak lagi bersekolah.
Yang mengejutkan, dalam situasi yang begitu menguras emosi tersebut, IM justru didatangi oleh sejumlah orang tak dikenal yang menawarkan uang damai hingga mencapai angka fantastis—Rp1 miliar. Namun, dengan keteguhan hati, IM menolak semua tawaran itu. Baginya, tidak ada harga yang bisa menggantikan keadilan bagi anaknya.
“Saya ditawari sampai Rp1 miliar. Tapi saya tidak akan mengganti keadilan anak saya dengan uang. Saya hanya ingin pelaku dihukum seberat-beratnya,” kata IM saat memberikan keterangan kepada media beberapa waktu lalu.
Ia juga khawatir jika kasus ini diselesaikan secara damai, maka pelaku bisa leluasa melakukan hal serupa kepada anak-anak lain. “Saya cuman takut akan ada banyak anak-anak lainnya jadi korban,” tambahnya.
Tekanan Berulang dari Orang Tak Dikenal
Menurut pengakuan IM, kedatangan orang-orang yang menawarkan uang damai terjadi berulang kali. Mereka mengaku dikirim oleh pihak tertentu dengan tujuan “merayu” agar kasus bisa diselesaikan tanpa proses hukum lebih lanjut. Setiap kali IM menolak tawaran tersebut, dalam hitungan hari selalu muncul orang baru yang datang dengan misi serupa.
“Orang yang datang bilang ‘kami disuruh, siapa yang bisa mendamaikan kasus ini’. Kalau gagal, pasti ada orang baru yang datang. Dan betul, setelah saya tolak, tiga hari berikutnya ada orang baru,” tuturnya.
Tekanan ini tentu saja semakin memperburuk kondisi mental keluarga IM, terlebih lagi dengan perilaku anaknya yang semakin tidak stabil. Ia mengaku kesulitan membujuk anaknya untuk kembali bersekolah, bahkan untuk keluar rumah pun sang anak harus ditemani.
Vonis Ringan yang Menyakitkan
Pada Kamis (3/7/2025), vonis dua tahun penjara dijatuhkan oleh Majelis Hakim Suwarjo terhadap pelaku, Yanto alias Rizky Aprianto. Putusan ini sangat mengecewakan IM karena dinilai terlalu ringan, apalagi alasan meringankan yang digunakan adalah sikap sopan dan pengakuan pelaku atas perbuatannya.
Padahal, jaksa penuntut umum sebelumnya telah menuntut hukuman tujuh tahun penjara. Hal ini pun mendapat sorotan dari Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Provinsi Jambi, Amsyarnedi Asnawi, yang menilai vonis tersebut tidak sesuai dengan beratnya tindakan kejahatan yang dilakukan.
“Kalau ini berulang, yang kasihan adalah anak-anak. Kasus yang naik ke pengadilan justru vonisnya ringan,” katanya.
Amsyarnedi menegaskan bahwa menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, hukuman minimum untuk kasus seperti ini seharusnya lima tahun penjara. Oleh karena itu, LPAI Jambi mendorong Jaksa Penuntut Umum untuk segera mengajukan banding.
Jika tidak ada respons dari Kejaksaan Negeri Jambi, mereka akan meneruskannya ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pusat. “Hari Senin (7/7/2025) kita akan surati Kejari. Jika tidak ada tanggapan, kita akan bersurat ke KPAI pusat,” ujarnya.
Kronologi Awal Kejadian
Kasus ini bermula ketika korban sedang dalam perjalanan pulang sekolah. Pelaku menghampiri korban dengan mobil, berpura-pura menanyakan alamat, lalu mengajaknya masuk ke dalam kendaraan. Di dalam mobil, pelaku meminta korban menonton film dewasa dari handphonenya, kemudian menampar korban setelah mematikan HP-nya.
Korban sempat melakukan perlawanan, namun pelaku mengancam dengan seolah-olah mengambil senjata dari dalam laci mobil. Dalam keadaan takut dan tak berdaya, korban akhirnya menjadi sasaran pelecehan seksual oleh pelaku.
Kasus Pelecehan Seksual Lainnya: Pengalaman Yusuf
Selain kasus IM dan anaknya, ada pula kisah traumatis yang dialami oleh seorang pemuda bernama Yusuf. Ia menjadi korban penganiayaan dan pelecehan seksual oleh enam oknum polisi dari Sat Sabhara Polrestabes Makassar. Meskipun keenam pelaku sudah dipecat dan ditahan, proses hukum dan etik masih berjalan lambat.
Lebih menyedihkan lagi, Yusuf mengaku mendapat ancaman dari keluarga pelaku meskipun mereka mengklaim datang untuk menawarkan perdamaian. Salah satu anggota polisi berinisial A bahkan datang ke rumahnya dan menyampaikan pesan yang dianggap sebagai ancaman.
“Bilangnya, ada pesan keluarga pelaku. Kalau saya tidak mau damai, tidak apa-apa, tapi pesan mereka saya disuruh hati-hati dan jaga diri saja. Itu jelas-jelas bentuk ancaman,” beber Yusuf.
Yusuf mengaku tertekan dan enggan bertemu siapa pun dari pihak pelaku. Keluarganya juga sering didatangi oleh orang-orang yang mengaku utusan keluarga pelaku, termasuk kerabat dekatnya sendiri.
Kini, baik IM maupun Yusuf terus berjuang demi keadilan dan perlindungan hukum yang layak. Kisah mereka menjadi pengingat pentingnya perlindungan terhadap korban kekerasan seksual serta pentingnya sistem hukum yang adil dan berpihak pada anak dan masyarakat yang rentan.